Silahkan di
cek isinya, jika sesuai tak perlu repot2 copy paste lalu edit lagi. Kami sudah menyediakan
versi Microsoft word-nya dibagian akhir artikel ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa kami terima kasih ucapkan kepada dosen farmasetika dasar dan teman-teman
yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang BENTUK SEDIAAN OBAT (BSO)
yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini
memuat tentang “Injeksi, Tetes Mata, dan Tetes Hidung”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan
semoga sengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk
saran dan kritiknya. Terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ..............................................................................................
Daftar
Isi .....................................................................................................
BAB
1 Pendahuluan ...............................................................................
I.
Latar Belakang .................................................................
II.
Tujuan ..............................................................................
III.
Metode Penulisan ..............................................................
BAB
II Pembahasan ................................................................................
I.
Injeksi ................................................................................
II.
Tetes
Mata .......................................................................
III.
Tetes Hidung ....................................................................
BAB
III Penutup ......................................................................................
Daftar
Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan
rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan
atau bagian badan manusia termasuk obat tradisional. Bahan aktif obat agar
digunakan nyaman, aman, efisien dan optimal dikemas dalam bentuk sediaan obat
(BSO) atau disebut sediaan farmasi. Bentuk sediaan obat (BSO) dapat mengandung
satu atau lebih komponen bahan aktif. Formulasi BSO memerlukan bahan tambahan
contohnya antara lain bahan pelarut atau bahan pelicin. Macam bahan tambahan
tergantung macam Bentuk Sedian Obat. Bahan tambahan bersifat netral. Sehingga
didapat Definisi BSO adalah sediaan obat yang mengandung satu atau
lebih bahan berkhasiat dan biasanya ditambah vehikulum(bahan pengisi atau bahan
pelarut).
Pengertian Obat Secara
Khusus :
1.
Obat Jadi
Obat dalam keadaan murni atau campuran dalam
bentuk serbuk, tablet, pil, kapsul, supositoria, cairan salep atau bentuk
lainnya yang mempunyai teknis sesuai dengan F1 atau buku resmi lain yang
ditetapkan pemerintah.
2.
Obat Paten
Yaitu obat jadi dengan nama dagang yang
terdaftar atas nama pembuat yang dikhususkannya dan dijual dalam bungkus asli
dari pabrik yang memproduksinya.
3.
Obat Baru
Yaitu obat yang terdiri atas atau berisi zat
yang berkhasiat ataupun tidak berkhasiat, misalnya lapisan pengisi, pelarut,
pembantu, atau komponen lain, yang belum dikenal sehingga tidak diketahui
khasiat dan kegunaannya.
4.
Obat
Asli
Yaitu obat yang didapat langsung dari
bahan-bahan alami Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan
digunakan dalam pengobatan tradisional.
5.
Obat Tradisional
Yaitu obat yang didapat dari bahan alam
(Mineral, tumbuhan, atau hewan) terolah secara sederhana atas dasar pengalaman
dan digunakan dalam pengobatan tradisional.
6.
Obat Esensial
7.
Yaitu obat yang paling
dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat terbanyak dan tercantum dalam
daftar obat esensial (DOEN) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI
7. Obat Generik
7. Obat Generik
Yaitu
obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam F1 untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya.
II.
TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai
bentuk sediaan obat (BSO) injeksi, tetes mata dan tetes hidung dan diharapkan
bermanfaat bagi kita semua.
III.
METODE
PENULISAN
Penulis mempergunakan metode kepustakaan. Dalam metode ini penulis membaca
buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
INJEKSI
A.
Pengertian
Injeksi
Salah satu
bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa
larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik. Tujuannya agar kerja
obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima
pengobatan melalui mulut. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau
mensuspensikan sejumlah obat kedalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat kedalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda.
Suatu sediaan
parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang diinjeksikan atau
disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang
paling dalam. Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki
efesiensi tinggi yaitu kulit dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral
harus bebas dari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan beracun dan juga harus
memiliki kemurnian yang dapat diterima.
Aminofilin
diindikasikan untuk asma bronkial dan untuk bronkospasme reversible yang
berhubungan dengan bronkhitis kronik dan emfisema. Obat-obat xantin terutama
teofilin dan bahan-bahan yang berhubungan dengan teofilin merupakan
bronkodilator yang paling banyak digunakan untuk bronkospasme reversibel sedang
atau berat. Juga memperbaiki pertukaran pernafasan dengan peningkatan
kontraktilitas diafragma.
B.
Penggolongan Umum Injeksi
1.
Parenteral Volume Kecil
a.
.Injeksi Intraderma
atau Intrakutan
Istilah intraderma (ID) berasal dari kata "intra" yang berarti lipis
dan "dermis" yang berarti sensitif, lapisan pembuluh darah dalam
kulit. Ketika sisi anatominya mempunyai derajat pembuluh darah tinggi, pembuluh
darah betul-betul kecil. Makanya penyerapan dari injeksi disini lambat dan
dibatasi dengan efek sistemik yang dapat dibandingkan karena absorpsinya
terbatas, maka penggunaannya biasa untuk aksi lokal dalam kulit untuk obat yang
sensitif atau untuk menentukan sensitivitas terhadap mikroorganisme. Umumnya
larutan atau suspensi dalam air, digunakan untuk diagnose, volume lebih kurang
100 ml sampai 200 ml.
b.
.Injeksi Intramuskulus
Istilah intramuskular (IM) digunakan untuk injeksi ke dalam obat. Rute
intramuskular menyiapkan kecepatan aksi onset sedikit lebih normal daripada
rute intravena, tetapi lebih besar daripada rute subkutan. Injeksi Intramuskulus
merupakan larutan atau suspense dalam air atau dalam minyak, volume sedapat
mungkin tidak lebih dari 4ml. penyuntikan volume besar dilakukan dengan
perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
c.
Injeksi Intravenus
Istilah intravenus (IV) berarti injeksi ke dalam vena. Ketika tidak ada
absorpsi, puncak konsentrasi dalam darah terjadi dengan segera, dan efek yang
diinginkan dari obat diperoleh hampir sekejap. Injeksi Intravenus ini pada umumnya
berupa larutan, dapat mengandung cairan noniritan yang dapat bercampur dengan
air, volumenya 1ml sampai 10ml.
Injeksi intravenus yang diberikan dalam volume besar umumnya lebih dari 10ml,
disebut Infusi. Emulsi minyak-air
dapat diberikan intravenus jika dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap
ukuran butiran minyak. Sediaan berupa emulsi air-minyak, tidak boleh
disuntikkan dengan cara ini. Jika volume dosis tunggal lebih dari 15 ml,
injeksi intravenus tidak boleh mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10
ml, harus bebas pitrogen.
d.
Injeksi Subkutan atau
Hipoderma
Subkutan (SC) atau injeksi hipodermik diberikan di bawah kulit. Parenteral
diberikan dengan rute ini mempunyai perbandingan aksi onset lambat dengan
absorpsi sedikit daripada yang diberikan dengan IV atau IM. Umumnya larutan
isotonus dengan kekuatan sedemikianrupa hingga volume yang disuntikkan tidak
lebih dari 1 ml. Dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti epinetrina untuk
melokalisir efek obat. Jika tidak mungkin disuntikkan infuse volume injeksi 31
sampai 41 sehari masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan penambahan
hialuronidase kedalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik hialuronidase.
e.
Injeksi intra-arterial
Disuntikkan langsung ke dalam arteri, digunakan untuk rute intravena ketika
aksi segera diinginkan dalam daerah perifer tubuh.
f.
Injeksi Intrakardial
Disuntikkan langsung ke dalam jantung, digunakan ketika kehidupan terancam
dalam keadaan darurat seperti gagal jantung.
g.
Injeksi Intraserebral
Injeksi ke dalam serebrum, digunakan khusus untuk aksi lokal sebagaimana
penggunaan fenol dalam pengobatan trigeminal neuroligia.
h.
Injeksi Intraspinal
Injeksi ke dalam kanal spinal menghasilkan konsentrasi tinggi dari obat dalam
daerah lokal. Untuk pengobatan penyakit neoplastik seperti leukemia.
i.
Injeksi Intraperitoneal dan
intrapleural
Merupakan rute yang digunakan untuk pemberian berupa vaksin rabies. Rute ini
juga digunakan untuk pemberian larutan dialisis ginjal.
j.
Injeksi Intra-artikular
Injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat antiinflamasi
secara langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.
k.
Injeksi Intrasisternal dan
peridual
Injeksi ke dalam sisterna intracranial dan durameter pada urat spinal. Keduanya
merupakan cara yang sulit dilakukan, dengan keadaan kritis untuk injeksi.
l.
Injeksi Intrakutan (i.c)
Injeksi yang dimasukkan secara langsung ke dalam epidermis di bawah stratum
corneum. Rute ini digunakan untuk memberi volume kecil (0,1-0,5 ml) bahan-bahan
diagnostik atau vaksin.
m. Injeksi
Intratekal atau Injeksi Subaraknoid, Injeksi Introsisterna dan Injeksi Peridum
Larutan yang digunakan untuk menginduksi spinal atau anestesi lumbar oleh
larutan injeksi ke dalam ruang subarachnoid. Cairan serebrospinal biasanya diam
pada mulanya untuk mencegah peningkatan volume cairan dan pengaruh tekanan
dalam serabut saraf spinal. Volume 1-2 ml biasa digunakan. Larutan umumnya
tidak boleh lebih dari 20 ml. Berat jenis dari larutan dapat diatur untuk
membuat anestesi untuk bergerak atau turun dalam kanal spinal, sesuai keadaan
tubuh pasien. Jenis injeksi ini tidak boleh mengandung bakterisida dan
diracikdalam wadah dosis tunggal.
2.
Parenteral Volume Besar
Untuk
pemberian larutan volume besar, hanya rute intravena dan subkutan yang secara
normal digunakan.
a.
Injeksi
Intravena
Keuntungan rute ini adalah (1) jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak
dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC,
(2) cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat; (3) efek
sistemik dapat segera dicapai; (4) level darah dari obat yang terus-menerus
disiapkan, dan (5) kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk
pemberian obat rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi : (1) gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari
peningkatan volume cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat
volume cairan dalam jumlah besar; (2) perkembangan potensial trombophlebitis;
(3) kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan (4) pembatasan cairan berair.
b.
Injeksi Subkutan
Penyuntikan subkutan (hipodermolisis) menyiapkan sebuah alternatif ketika rute
intravena tidak dapat digunakan. Cairan volume besar secara relatif dapat
digunakan tetapi injeksi harus diberikan secara lambat. Dibandingkan dengan
rute intravena, absorpsinya lebih lambat, lebih nyeri dan tidak menyenangkan,
jenis cairan yang digunakan lebih kecil (biasanya dibatasi untuk larutan
isotonis) dan lebih terbatas zat tambahannya.
C.
Keuntungan injeksi
1.
Respon fisiologis yang
cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi pertimbangan utama
dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok.
2.
Terapi parenteral
diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang dapat
dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
3.
Obat-obat untuk pasien yang
tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan secara injeksi.
4.
Bila
memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena pasien
harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus, pasien
tidak dapat menerima obat secara oral.
5.
Penggunaan
parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan seperti
pada gigi dan anestesi.
6.
Dalam
kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk parenteral tersedia,
termasuk injeksi steroid periode panjang secara intra-artikular dan penggunaan
penisilin periode panjang secara i.m.
7.
Terapi
parenteral dapat memperbaiki kerusakan serius pada keseimbangan cairan dan
elektrolit.
8.
Bila
makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat
dipenuhi melalui rute parenteral.
9.
Aksi obat biasanya lebih
cepat.
10. Seluruh
dosis obat
digunakan.
11. Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara
lengkap tidak aktif ketika diberikan secara oral, dan harus diberikan secara
parenteral.
12. Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral,
tetapi dapat ditoleransi ketika diberikan secara intravena, misalnya larutan
kuat dektrosa.
13. Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian
intravena dapat menyelamatkan hidupnya.
D.
Kerugian
Injeksi
1.
Bentuk
sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain.
2.
Pada pemberian parenteral
dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari beberapa
rasa sakit tidak dapat dihindari.
3.
Obat yang diberikan secara
parenteral menjadi sulit untuk mengembalikan efek fisiologisnya.
4.
Yang terakhir, karena pada
pemberian dan pengemasan, bentuk sediaan parenteral lebih mahal dibandingkan
metode rute yang lain.
5.
Beberapa rasa sakit dapat
terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila sulit untuk
mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
6.
Dalam beberapa kasus,
dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis.
7.
Sekali
digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika pasien
hipersensitivitas terhadap obat atau overdosis setelah penggunaan, efeknya
sulit untuk dikembalikan lagi.
8.
Pemberian
beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab udara atau
mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi
phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.
E.
Komposisi
Injeksi
1.
Bahan aktif
2.
Bahan tambahan
a.
Antioksidan : Garam-garam
sulfurdioksida, termasuk bisulfit, metasulfit dan sulfit adalah yang paling
umum digunakan sebagai antioksidan. Selain itu digunakan :Asam askorbat,
Sistein, Monotiogliseril, Tokoferol.
b.
Bahan antimikroba atau
pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol, Klorobutanol, Metakreosol,
Timerosol, Butil p-hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat, Propil
p-hidroksibenzoat, Fenol.
c.
Buffer : Asetat, Sitrat,
Fosfat.
d.
Bahan pengkhelat : Garam
etilendiamintetraasetat (EDTA).
e.
Gas inert : Nitrogen dan
Argon.
f.
Bahan penambah kelarutan
(Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin, Polietilen glikol, Propilen glikol,
Lecithin
g.
Surfaktan : Polioksietilen
dan Sorbitan monooleat.
h.
Bahan
pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl
i.
Bahan
pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum manusia.
j.
Bahan
penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
3.
Pembawa
a.
Pembawa air
b.
Pembawa nonair dan campuran
c.
Minyak nabati : Minyak
jagung, Minyak biji kapas, Minyak kacang, Minyak wijen
d.
Pelarut bercampur air :
Gliserin, Etil alcohol, Propilen glikol, Polietilenglikol 300.
F.
Syarat-syarat
Injeksi
1.
Bebas
dari mikroorganisme, steril atau dibuat dari bahan-bahan steril di bawah
kondisi yang kurang akan adanya kombinasi mikroorganisme (proses aseptik).
2.
Bahan-bahan
bebas dari endotoksin bakteri dan bahan pirogenik lainnya.
3.
Bahan-bahan
yang bebas dari bahan asing dari luar yang tidak larut.
4.
Sterilitas
5.
Bebas dari bahan partikulat
6.
Bebas dari Pirogen
7.
Kestabilan
8.
Injeksi
sedapat mungkin isotonis dengan darah.
G.
Wadah Injeksi
Ada dua
tipe utama wadah untuk injeksi yaitu dosis tunggal dan dosis ganda. Wadah dosis
tunggal yang paling sering digunakan adalah ampul dimana kisaran ukurannya dari
1-100 ml. pada kasus tertentu, wadah dosis ganda dan sebagainya berupa vial
serum atau botol serum. Kapasitas vial serum 1-50 ml, bentuknya mirip ampul
tetapi disegel dengan pemanasan. Ditutup dengan penutup karet spiral. Botol
serum juga dapat sebagai botol tipe army dengan kisaran ukuran dari 75-100 ml
dan memiliki mulut yang lebar dimana ditutup dengan penutup karet spiral. Labu
atau tutup yang lebih besar mengandung 250-2000 ml, digunakan untuk cairan
parenteral yang besar seperti NaCl isotonis.
1.
Gelas
Gelas
digunakan untuk sediaan parenteral dikelompokkan dalam tipe I, Tipe II, dan
Tipe III (tabel 8). Tipe I adalah mempunyai derajat yang paling tinggi, disusun
hampir ekslusif dan barosilikat (silikon dioksida), membuatnya resisten secara
kimia terhadap kondisi asam dan basa yang ekstrim. Gelas tipe I, meskipun
paling mahal, ini lebih disukai untuk produk terbanyak yang digunakan untuk
pengemasan beberapa parenteral. Gelas tipe II adalah gelas soda-lime (dibuat
dengan natrium sulfit atau sulfida untuk menetralisasi permukaan alkalinoksida),
sebaliknya gelas tipe III tidak dibuat dari gelas soda lime. Gelas tipe II dan
III digunakan untuk serbuk kering dan sediaan parenteral larutan berminyak.
Tipe II dapat digunakan untuk produk dengan pH di bawah 7,0 sebaik sediaan asam
dan netral. USP XXII memberikan uji untuk tipe-tipe gelas berbeda.
2.
Karet
Formulasi
karet digunakan dalam sediaan parenteral volume kecil untuk penutup vial dan
catridge dan penutup untuk pembedahan. Formulasi ini betul-betul kompleks.
Tidak hanya mereka mengandung basis polimer karet, tetapi juga banyak bahan
tambahan seperti bahan pelunak, pelunak, vulkanishing, pewarna, aktivator dan
percepatan, dan antioksidan. Banyak bahan-bahan tambahan ini tidak
dikarakteristikkan untuk isi atau pemurnian dan dapat bersumber dari masalah
degradasi fisika dan kimia dalam produk parenteral. Seperti gelas, formulator
harus bekerja dengan tertutup dengan pembuat karet untuk memilih formulasi
karet yang tepat dengan spesifikasi tetap dan karakteristik untuk mempertahankan
kestabilan produk.
Paling banyak
polimer karet digunakan dalam penutup sediaan parenteral volume kecil adalah
alami dan butil karet dengan silikon dan karet neopren digunakan jarang. Butil
karet lebih disukai karena ini diinginkan sedikit bahan tambahan, mempunyai
penyerapan uap air rendah (oleh karena itu, baik untuk serbuk kering steril
sensitif terhadap kelembaban) dan sifat sederhana dengan penghormatan
penyerapan gas dan reaktivitas dengan produk farmasetik.
3.
Plastik
Pengemasan plastik
adalah sangat penting untuk bentuk sediaan mata yang diberikan oleh botol
plastic fleksibel, orang yang bersangkutan memeras untuk mengeluarkan tetesan
larutan steril, suspensi atau gel. Wadah plastic parenteral volume kecil lain
dari produk mata menjadi lebih luas dipakai karena pemeliharaan harga,
eliminasi kerusakan gelas dari kenyamanan penggunaan. Seperti formulasi karet,
formulasi plastik dapat berinteraksi dengan produk, menyebabkan masalah fisika
dan kimia. Formulasi plastik adalah sedikit. Kompleks daripada karet dan
cenderung mempunyai potensial lebih rendah untuk bahannya. Paling umum
digunakan plastik polimer untuk sediaan mata adalah polietilen densitas rendah.
Untuk sediaan parenteral volume kecil yang lain, formulasi polyolefin lebih luas
digunakan sebaik polivinil klorida, polipropilen, poliamida (nilon),
polikarbonat dan kopolimer (seperti etilen-vinil asetat).
II.
TETES
MATA
A.
Pengertian
Tetes Mata
Tetes mata
adalah sediaan steril yang berupa larutan atau suspensi yang digunakan dengan
cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata dari bola
mata. Larutan mata merupakan cairan steril atau larutan berminyak dari alkaloid
garam-garam alkaloid, antibotik atau bahan-bahan lain yang ditujukan untuk
dimasukkan ke dalam mata. Ketika cairan, larutan harus isotonik, larutan mata
digunakan untuk antibakterial, anstetik, midriatikum, miotik atau maksud
diagnosa. Larutan ini disebut juga tetes mata dan collyria (singular
collyrium).
Obat yang
dimasukkan ke dalam mata harus diformulasi dan disiapkan dengan pertimbangan
yang diberikan untuk tonisitas, pH, stabilitas, viskositas dan sterilisasi.
Sterilisasi ini diinginkan karena kornea dan jaringan bening ruang anterior
adalah media yang bagus untuk mikroorganisme dan masuknya larutan mata yang
terkontaminasi ke dalam mata yang trauma karena kecelakaan atau pembedahan
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.
B.
Syarat-syarat Tetes Mata
Faktor-faktor dibawah ini sangat penting
dalam sediaan larutan mata :
1.
Ketelitian dan kebersihan
dalam penyiapan larutan;
2.
Sterilitas akhir dari
collyrium dan kehadiran bahan antimikroba yang efektif untuk menghambat
pertumbuhan dari banyak mikroorganisme selama penggunaan dari sediaan;
3.
Isotonisitas dari larutan;
4.
pH yang pantas dalam pembawa
untuk menghasilkan stabilitas yang optimum
Tetes mata adalah larutan berair atau larutan
berminyak yang idealnya harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Steril
ketika dihasilkan
2. Bebas
dari partikel-partikel asing
3. Bebas
dari efek mengiritasi
4. Mengandung
pengawet yang cocok untuk mencegah pertumbuhan dari mikroorganisme yang dapat
berbahaya yang dihasilkan selama penggunaan.
5. Jika
dimungkinkan larutan berair seharusnya isotonis dengan sekresi lakrimal
konsentrasi ion hidrogen sebaliknya cocok untuk obat khusus, dan idelanya tidak
terlalu jauh dari netral
6. Stabil
secara kimia
C.
Keuntungan
dan Kerugian Tetes Mata
Kerugian yang
prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif singkat antara
obat dan permukaan yang terabsorsi. Bioavailabilitas obat mata diakui buruk
jika larutannya digunakan secara topical untuk kebanyakan obat kurang dari 1-3%
dari dosis yang dimasukkan melewati kornea. Sampai ke ruang anterior. Sejak
boavailabilitas obat sangat lambat, pasien mematuhi aturan dan teknik pemakaian
yang tepat.
Keuntungan Tetes Mata secara umum larutan berair lebih stabil daripada salep,
meskipun salep dengan obat yang larut dalam lemak diabsorpsi lebih baik dari
larutan/salep yantg obat-obatnya larut dalam air, tidak menganggu penglihatan
ketika digunakan. Jika semua bahan-bahan lengkap dalam larutan, keseragaman
tidak menjadi masalah, hanya sedikit pengaruh sifat fisika dengan tujuan ini.
Salep mata umumnya menghasilkan bioavailabilitas yang lebih besar daripada
larutan berair.
D.
pH
Cairan dan Sediaan Mata
a.
pH Cairan Mata
Ada
persetujuan umum tentang konsentrasi ion hidrogen dari cairan lakrimal adalah
mendekati netral. Namun demikian, variasi nilai telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Kemudian Hasford dan Hicks, Buchr dan Baeschlin, Feldman, Dekking,
Byleveld, van Grosz dan Hild dan Goyan dilaporkan telah menemukan pH cairan
mata berhubungan dengan darah. Yang lain telah mendapatkan nilai yang berbeda:
Gyorffy dari 6,3-8,4, Lipschultz 8,0, Oguchi dan Nakasima dari 8,4-8,6.
federsen-Bjergaard menemukan pH cairan lakrimal dari sepuluh orang normal dan
menemukan nilai 8,2. Dia membuat ketentuan dengan cara kolorimetri dan
elektrometri, dan ditemukan hasil yang sama pada kedua metode. Hind dan Goyan
dalam pekerjaan terakhir, menemukan pH air mata adalah 7,4. Berdasarkan hal
itu, pH cairan lakrimal sekurang-kurangnya 7,4 dan mungkin lebih alkali.
Konsentrasi ion hidrogen dari cairan mata berkisar 7,2-7,4.
Sekresi
lakrimal mempunyai nilai pH antara 7,2-7,4 dan mempunyai kapasitas membuffer
yang tinggi. Akibatnya, mata dapat mentoleransi larutan yang mempunyai nilai pH
dari 3,5-10, mereka tidak didapar dengan kuat ketika cairan mata akan dengan
cepat memperbaiki nilai pH normal dari mata.
b.
pH Sediaan
Mata
pH dari larutan mata sebaiknya antara 4,5 dan 9. Dalam banyak perumpamaan, kita
dapat mencapai obat dengan seratus kali lebih stabil pada pH 5,0 dan kemudian
pH 7,0. Larutan lakrimal normalnya pH 7,4 dengan rentang 5,2-8,3. Ini masih
bisa ditoleransi oleh larutan mata dengan range pH ini, disebabkan oleh (1)
volume kecil larutan, (2) buffer cairan mata, dan (3) peningkatan produksi air
mata.
E.
Pewadahan
Tipe wadah
yang biasa digunakan untuk tetes mata adalah vertikal dilipat ambar atau gelas
botol hijau layak dengan tutup bakelite yang membawa tube tetes dengan sebuah
pentil dan kemampuan untuk ditutup sebagaimana untuk menahan mikroorganisme.
Sifat-sifat yang penting sebagai berikut :
1.
Dilengkapi dengan uji untuk
membatasi alkali gelas. Copper (1963) menunjukkan bahwa kadang-kadang botol
dapat dibebasalkalikan tetapi tube tetes tidak. Ini dapat dicontohkan oleh
tetes mata fisostigmin dalam larutan dalam botol tidak berwarna tetapi pada tube
tetes berwarna merah muda.
2.
Melindungi isi bahan
terhadap cahaya. Banyak bahan obat sensitif terhadap cahaya.
3.
Mempunyai segel yang
memuaskan. Norton (1963) menunjukkan test warna.
4.
Pentil karet atau pentil
dari bahan-bahan lain adalah penyerap dan sebaiknya dijenuhkan dengan
pengawet yang digunakan dalam larutan mata dimana mereka digunakan.
5.
Menyiapkan penetes yang
siap digunakan dan melindungi terhadap kerusakan dan
kontaminasi.
6.
Dilengkapi dengan
pengaturan racun. Banyak obat mata adalah racun.
7.
Wadah non gelas tidak
bereaksi dengan obat-obat atau partikel lain yang menjadi isi larutan.
Larutan mata
sebaiknya digunakan dalam unit kecil, tidak pernah lebih besar dari 15 ml dan
lebih disukai yang lebih kecil. Botol 7,5 ml adalah ukuran yang menyenangkan
untuk penggunaan larutan mata. Penggunaan wadah kecil memperpendek waktu
pengobatan akan dijaga oleh pasien dan meminimalkan jumlah pemaparan
kontaminasi.
Botol plastik
untuk larutan mata juga dapat digunakan. Meskipun beberapa botol plastik untuk
larutan mata telah dimunculkan dalam pasaran, mereka masih melengkapi dan yang
terbaik adalah untuk menulis secara langsung produksi untuk menghasilkan
informasi teknik dalam perkembangan terakhir.
F.
Komposisi Tetes Mata
Selain bahan
obat, tetes mata dapat mengandung sejumlah bahan tambahan untuk mempertahankan
potensi dan mencegah peruraian. Bahan tambahan itu meliputi :
1.
Pengawet
Sebagaimana
yang telah dikatakan, ada bahan untuk mencegah perkembangan mikroorganisme yang
mungkin terdapat selama penggunaan tetes mata. Larutan untuk tetes mata khusus,
yang paling banyak tetes mata dan yang lain menggunakan fenil merkuri nitrat,
fenil etil alcohol dan benzalkonium klorida.
2.
Isotonisitas dengan Sekresi
Lakrimal
NaCl normalnya
digunakan untuk mencapai tekanan osmotik yang sesui dengan larutan tetes mata.
3.
Oksidasi Obat
Banyak obat
mata dengan segera dioksidasi dan biasanya dalam beberapa kasus termasuk bahan
pereduksi. Natrium metasulfit dalam konsentrasi 0,1% umumnya digunakan untuk
tujuan ini.
4.
Konsentrasi Ion Hidrogen
Butuh untuk
kestabilan konsentrasi ion hidrogen, dan beberapa buffer telah digambarkan.
Sodium sitrat digunakan dalam tetes mata fenilefrin.
5.
Bahan Pengkhelat
Ketika ion-ion
dan logam berat dapat menyebabkan peruraian obat dalam larutan digunakan bahan
pengkhelat yang mengikat ion dalam kompleks organik, akan memberikan
perlindungan. Na2EDTA, satu yang paling dikenal sebagai pengkhelat.
6.
Viskositas
Untuk
menyiapkan larutan kental dengan memberi aksi yang lama pada larutan mata
dengan tetap kontak lebih lama pada permukaan mata, bahan pengental dapat
digunakan, metilselulosa 1% telah digunakan untuk tujuan ini.
III.
TETES
HIDUNG
A.
Pengertian
Tetes Hidung
Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam debu yang masuk ke
dalam melalui hidung. Tanpa penyaringan ini mungkin debu ini dapat mencapai
paru-paru. Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut hidung yang berfungsi menahan
butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan bakteri menempel pada mukosa
hidung. Dalam rongga hidung udara dihangatkan sehingga terjadi kelembaban
tertentu.
Mukosa hidung tertutup oleh suatu lapisan yang disebut epitel respirateris yang
terdiri dari sel-sel rambut getar dan sel “leher”. Sel-sel rambut getar
ini mengeluarkan lendir yang tersebar rata sehingga merupakan suatu lapisan tipis yang
melapisi mukosa hidung dimana debu dan bakteri ditahan dan melekat. Debu dan
bakteri melekat ini tiap kali dikeluarkan ke arah berlawanan dengan jurusan
tenggorokan. Yang mendorong adalah rambut getar hidung dimana getarannya selalu
mengarah keluar. Gerakannya speerti cambuk, jadi selalu mencambuk keluar, dengan
demikian bagian yang lebih dalam dari lapisan bulu getar ini selalu bersih dan
“steril”. Biasanya pada pagi hari hal ini dapat dicapai.
Dengan penjelasan sepintas tersebut diatas dapat dengan mudah dipahami, bahwa
segala sesuatu yang
masuk (khusussnya obat) ke dalam hidung secara sengaja tidak bolehmenghalangi
fungsi dari rambut getar sebagaimana dijelaskan di atas. Harga pH lapisan
lendir sekitar 5,5-5,6 pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak 5-6,7 pada
pH kurang dari 6,5 biasanya tidak diketemukan bakteri dan bila lebih dari 6,5
mulai ada bakteri.
Bila kedinginan pH
lendir hidung akan cenderung naik, sebaliknya bila kepanasan cenderung pH
menurun. Pada waktu pilek, pH lendir alkalis, sehingga teori sebenarnya dapat
disembuhkan denan mudah dengan cara menurunkan pHnya, yaitu kearah asam. Jadi
pemberian obat dengan tujuan mengembalikan kondisi normal dari rongga hidung
akan menolong.
Obat
hidung biasanya diberikan dengan empat cara :
1.
Yang biasanya adalah dengan
meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.
2.
Dengan cara disemprotkan,
alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut
(atomizer) ada juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari
atomizer.
3.
Dengan
cara mencucikan dengan alat “nasal douche”
4.
Dapat juga dengan cara
“inheler”, diisap-isap.
B. Absorbsi Obat
Absorbsi obat lewat mucus hidung terkadang baik atau lebih baik dari oral. Rute
intranasal nampaknya ideal karena menghasilkan efek langsung ke vascular dan
mudah pemberiannya. Namun demikian cara ini jarang dijumpai sehari-hari.
Tonndorf dan pembantunya mengkaji absorbsi hiosin dan atropin dari selaput
lendir manusia. Mereka mengevaluasi denga cara mengamati hambatan produksi
saliva sebagai cara untuk menguji absorbsi obat. Penemuan mereka
didemonstrasikan sebagai pemberian obat melalui hidung.
Untuk semua kasus, produksi saliva untuk kontrol berbeda nyata dengan yang
mengandung obat, sediaan kapsul yang paling lambat responnya, diikuti larutan
oral. Perlambatan respon nampaknya tergantung pada waktu yang diperlukan untuk
melarutkan kapsul dan padatan garam alkalod.
Injeksi subkutan memberikan respon yang paling cepat dan tetes hidung menyusul
sesudahnya. Pemberian
hiosin dalam bentuk semprotan (spray) responnya tidak sebaik tetes hidung. Akan
tetapi apabila 0,01 % Na-Laurilsulfat ditambahkan pada tempat absorbsi obat,
maka responnya akan sebaik respon tetes hidung.
Pengkajian kelompok lain dengan rute pemberian sublingual (dibawah lidah),
diperoleh hasil yang lebih rendah dibandingkan terhadap baik subkutan
maupun tetes hidung.Tidak dijumpai
komplikasi loka. Monto dan Rebuck (DOM 915) melaporkan pemberian vitamin B 12
melalui rute hidung. Penulis ini menemukan bahwa inhalasi kristal vitamin B 12
dalam larutan NaCl isotonis dan dalam puder lactose menghasilkan respon klinik
dan hematologis pada 12 penderita anemia pernisiosa, ada perbaikan.
Obat yang sering diberikan untuk pengobatan hidung
:
§
Antibiotik
§
Sulfasetamide
§
Vasokontriktor
§
Germisid
§
Antiseptik
Yang perlu
diperhatikan bahwa rambut getar dalam rongga hidung sangat peka terhadap
beberapa macam obat misalnya obat yang mengandung Efedrin HCl, konsentrasi
paling tinggi yang dapat ditahan adalah 3% lebih tinggi dari kadar tersebut
akan mengerem kerja dari rambut getar. Larutan adrenalin yang asam (adrenalin 1
% pH 3) juga akan mengerem kerja dari rambut getar hidung. Larutan kokain HCl
hanya dapat digunakan sampai konsentrasi paling tinggi 2,5 %
Larutan
protalgol mempunyai pengaruh yang nyata terhadap rambut getar hidung karena mengendapklan protein
(padahal lendir yang diekskresikan di daerah rambut getar sebagian bersar
terdiri dari protein)
Parafin
cair jika digunakan sebagai bahan pembawa (baik sebagai pelarut atau
mengahsilkan suspensi)
akan memberikan suatu lapisan pada mukosa hidung, hingga secara tidak langsung
dapat mengurangi kerja rambut getar, jadi tetes hidung dengan paraffin cair
sebaiknya dihindari.
Reaksi alkali
seperti misalnya garam sulfat, hendaknya juga dihindari karena biasanya pH
larutan sulfat
sangat alkali yaitu pHnya antara 10-11. sebagai pelarut bukan lagi air yang
dipakai melainkan propilenglikol, larutan sulfat dalam propilen glikol tak
perlu dialkalikan, jadi reaksinya sedikit asam (karena sulfa merupakan asam
lemah)
Obat tetes
hidung harus isoosmotik dengan secret hidung atau isoosmotik dengan cairan
tubuh lainnya yaitu sama denagn larutan NaCl 0,9% . pengisotonisan ini perlu
sekail maksudnya agar tidak mengganggu fungsi rambut getar, epitel. Sedikit
hipertoni masih diperkenankan. Sebagai bahan pengiisotoni digunakan NaCl atau
glukosa
Tetes hidung harus steril dan untuk untuk
menjaga agar oabat terhindar dari kontaminasi, maka penambahan preservatif juga
dilakukan misalnya dengan nipagin atau nipasol atau kombinasi keduanya. Nipagin
dipakai 0,04-0,01 %; sedangkan campurannya dapat dibuat dengan kombinasi
Nipagin (0.026%) + Nipasol (0.014%)
Secara umum untuk obat (tetes) hidung harus diperhatikan :
1.
Sebaiknya digunakan pelarut
air
2.
Jangan menggunakan obat
yang cenderung akan mengerem fungsi rambut getar epitel
3.
pH larutan sebaiknya diatur
sekitar 5,5-6,5 dan agar pH tersebut stabil hendaknya ditambahkan dapar
(buffer)
4.
Usahakan agar larutan
isotoni
5.
Agar supaya obat dapat
tinggal lama dalam rongga hidung dapat diusahakan penambahan bahan yang
menaikkan viskositasnya agar mendekati secret lendir hidung
6.
Hendaknya
dihindari larutan obat (tetes) hidung yang bereaksi alkali
7.
Penting
untuk diketahui jangan sampai bayi diberi tetes hidung yang mengandung
menthol, karena dapat menyebabkan karam (kejang) pada jalan pernafasan
8.
Harus tetap stabil selama
dalam pemakaian pasien
9.
Harus mengandung
antibakteri untuk mereduksi pertumbuhan bakteri selama dan pada saat obat
diteteskan.
Dapar fosfat
untuk obat tetes hidung (pH 6,5) dapat digunakan dan dibuat seperti tersebut
dibawah ini
v
NaH2PO4.
H2O 0,65
v
NaH2PO4.
7 H2O 0,54
v
NaCl 0,45
v
Benzalkonium
klorida 0.01-0,10%
v
Air
suling secukupnya 100 ml
Beberapa obat
simpatomimetik (atropin, hiosin, skopolamin) karena mudah teroksidasi jadi
perlu penambahan antioksidan dan juga kontrol pH.
BAB III
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang
budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM. 1979. Farmakope
Indonesia. Edisi III. Depkes RI. Jakarta.
Ditjen POM.
(1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Depkes RI. Jakarta.
Apabila anda masuk https://adf.ly/ , cukup tunggu sebentar sampai muncul tombol dengan tulisan SKIP AD pada pojok kanan atas, lalu klik tombol tersebut.
No comments:
Post a Comment